Jenazah ke-25

Jenazah ke-25
Penjemputan jenazah MO di Bandara El Tari Kupang, NTT pada 22 Agustus 2020

22 Agustus 2020

Jika ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Entah itu dipisahkan dengan jarak maupun ajal. Kapan dan dimana saling bertemu dan saling berpisah, hanya Tuhan yang tahu. Walaupun tugas manusia hanya menjalani takdir, namun perpisahan tetap menjadi bagian yang paling menyakitkan bagi seluruh umat manusia.

Sabtu (22/8/2020) pagi, aku kembali menjemput jenazah PMI dengan inisial MO dari Malaysia seorang diri karena suster Laurentina, PI sedang mengikuti pertemuan para suster. Aku tiba di Kargo Bandara EL Tari Kupang pada pukul 12.10 WITA. Di sana, sudah ada keluarga korban yang hadir untuk menyambut kedatangan jenazah. Aku menghampiri keluarga yang duduk berlindung dari panas matahari di bawah pohon beringin sambil menunggu jenazah. Pak Stef, perwakilan dari BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) juga menghampiri keluarga dengan menggenggam beberapa surat. Ia baru saja mengurus biaya peti jenazah dan menyampaikan beberapa hal kepada keluarga.

Aku mendekati mereka, sambil mendengarkan dengan seksama. Ia menjelaskan bahwa pihak B2PMI sudah mengurus semua administrasi pemulangan jenazah. Ia juga menjelaskan kepada keluarga bahwa ketika jenazah tiba di kampung halaman, keluarga harus bisa menghadirkan perwakilan dari pemerintah guna penandatanganan beberapa dokumen penting pemulangan jenazah.

Pria kelahiran Nispukan, pada 28 Februari 1983 sudah sepuluh tahun lebih membanting tulang bekerja di Malaysia. Ia dipercaya sebagai mandor, sementara isterinya dipercaya sebagai penyebar pupuk di Perusahaan Timor Enterprise di Lot 367, Kemena Industrial Estate 97000 Bintulu, Sarawak, Malaysia. Diusianya yang ke-37 tahun, ia harus menghadap sang Pencipta dan terpaksa meninggalkan ketiga anaknya yang masih kecil di kampung halaman. Isterinya yang setia turut mendampinginya hingga ke peristirahatan terakhir di kampung halaman.

Dari kejauhan, tampak mata isterinya yang sayu dan lesu sedang memegang sebuah ransel hitam. Aku segera mendekatinya dan menanyakan penyebab kematian MO. Ia menuturkan jika suaminya hanya mengalami sesak napas selama dua hari. Ia segera membawanya ke klinik untuk mendapatkan pertolongan. Namun sepulang dari rumah sakit, kondisi suaminya semakin parah dan menghembuskan nafas terakhir pada 12 Agustus 2020. Tidak diketahui dengan pasti penyebab kematian MO karena isterinya menolak untuk melakukan otopsi.

Aku mendapatkan informasi lain dari keluarga MO yang datang dari kampung halaman. Menurut mereka, sebelum MO berangkat kerja ke Malaysia, ia sudah menderita sakit. Sekujur tubuhnya, dari kaki hingga ke badan bengkak tanpa diketahui penyebabnya. Seluruh keluarga di kampung memberinya obat kampung hingga MO sembuh. Tidak lama setelah itu, MO memutuskan untuk kembali bekerja ke Malaysia, membawa serta isterinya dan meninggalkan ketiga anaknya secara illegal.

Berdasarkan pengakuan dari om kandungnya, MO pernah menelponnya dan menceritakan sakitnya yang kambuh seperti sebelumnya. Ia sempat menyarankan MO untuk kembali lagi agar mendapatkan perawatan di kampung. Namun sayang, seminggu setelah pembicaraan itu, MO telah berpulang. Ia memutuskan untuk menjemput MO secara langsung di kargo.

Tidak lama kemudian, sekitar pukul 12.45 WITA, jenazah MO sudah berada di kereta Kargo. Kami segera mendekat ke kargo untuk memindahkan jenazah dari kereta ke mobil ambulans. Ketika jenazah sudah dipindahkan, saya menyodorkan diri untuk menyambut jenazah dalam doa. Maklum saja, tidak ada suster maupun mama pendeta yang hadir di kargo untuk mendoakan para jenazah pada hari ini. Syukurlah pihak keluarga memahami penjelasan singkatku tentang karya ini, “Pelayanan Kargo”.

Mereka mengizinkanku untuk memimpin doa bagi MO. Kupanjatkan syukur kepada Allah Bapa Surgawi karena jenazah MO dan istrinya boleh tiba dengan keadaan baik di tanah air sekalipun harus melewati berbagai rintangan yang berat. Aku memohon agar Allah yang Maha Murah mengarunikan kesabaran dan ketabahan bagi keluarga MO yang ditinggalkan. Kututup doa dengan doa satu kali Bapa Kami, tiga kali Salam Maria karena jenazah dan keluarga beragama Kristen Katolik.

Usai berdoa, istri dan keluarga MO naik ke mobil jenazah dengan air mata yang mengalir deras. Bersama mobil jenazah ini, mereka bersiap untuk kembali ke kampung halaman menghantarkan MO ke peristirahatan terakhir di Oekato, Desa Susulaku, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Selamat jalan saudaraku, selamat berbahagia di rumah Bapa dan doakan kami yang masih berjuang di dunia ini.