Jenazah di Siang Hari
25 Maret 2019
Mengucapkan selamat tinggal tentu tidak pernah mudah dan terasa kelu. Meninggalkan zona nyaman juga pasti selalu berat. Beruntungnya, aku masih berada di kota yang sama dengan orangtuaku. Kami hanya berbeda tempat tinggal karena misi kemanusiaan yang kupilih. Bersyukur rasanya masih bisa saling menyapa, bertukar kabar, berbagi suka dan duka.
Berbeda halnya jika kubandingkan dengan mereka, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terpisah jarak dan waktu dengan keluarganya, berjuang di negeri rantau, demi sesuap nasi dan penghidupan yang lebih layak. Jika rindu pada sanak saudara dan kampung halaman, mereka terpaksa menunda kepulangan selama bertahun-tahun, belasan bahkan puluhan tahun karena terkendala biaya dan proses administrasi yang menghimpit. Mirisnya, saat kembali ke pangkuan ibu pertiwi, mereka sudah dalam bentuk jenazah. Ya, para eksodus ini tidak mampu merengkuh orang-orang tersayang demi sesuap nasi dan penghidupan yang layak. Seperti yang dialami oleh jenazah PMI yang tiba siang ini (25/03/2019) atas nama BN. Pria kelahiran Maumere, pada 27 Agustus 1971 ini bekerja secara tidak resmi (illegal) di perusahaan Sapor Shipbuilding Industries, Sarawak, Malaysia. Berdasarkan laporan dari pihak kepolisian dan pihak perusahaan, almarhum meninggal pada Sabtu (16/03/2019) karena kecelakaan kerja. Ia terjatuh ke dalam sungai dan pergi untuk selama-lamanya.
Biasanya, aku tidak pernah berani melihat orang yang meninggal karena kecelakaan, namun kali ini aku menatap lama layar handphone yang menunjukkan kondisi jenazah itu dalam sebuah tandu. Dalam gambar, aku melihat BN telah terbujur kaku mengenakan baju hijau dan jeans panjang. Kedua tangannya terlipat dan terkatup rapat di bawah dadanya. Baju hijaunya terangkat ke atas hingga memperlihatkan kulit perutnya. Sekujur tubuhnya penuh lumpur. Pada bagian pelipis dan wajahnya terdapat bekas darah yang sudah membeku. Mengenaskan.
Aku segera meluncur ke Kargo Bandara El Tari Kupang sekalipun harus menunggu enam menit untuk kedatangannya.
Ketika tiba di Kargo, Pak Stef salah satu anggota BP3TKI Kupang segera datang menghampiri dan menanyakan keberadaan suster.
“Suster dong ada ikut pertemuan, tapi nanti datang ma,” jawabku singkat.
“Itu keluarga ko?” tanyaku sambil menunjuk ke arah kerumunan orang di tempat penitipan peti Kargo.
“Bukan, itu keluarga dari jenazah yang dari Denpasar,” ujarnya.
Aku menganggukkan kepala, tanda mengerti. Aku segera menunggu di bawah pohon beringin, mencari setitik kesejukan di terik mentari siang ini. Selain Pak Stef, ada beberapa perwakilan dari BP3TKI, seorang wartawan Pos Kupang yang menantikan kedatangan jenazah. Tidak lama kemudian, Suster Laurentina PI tiba di Kargo bersama Mama Pendeta Emi, Frater Robin, Suster Elisa PI dan Suster Matilda PI. Kami menanti peti jenazah selama kurang lebih tiga puluh menit.
Tidak hanya kami, keluarga jenazah yang dari Denpasar juga ikut masuk untuk melihat peti jenazah yang baru tiba. Ada yang menangis saat jenazah BN hendak di pindahkan ke mobil ambulans. Mereka berpikir itu adalah jenazah yang mereka nantikan. Dari balik masker, aku tidak bisa menahan senyumku ketika seorang ibu setengah berbisik mengatakan kepada ibu yang lainnya di tengah kerumunan. Dari gerakan mulutnya, aku menerka seperti ini “Itu jenazah orang lain,” ujarnya. Ibu yang sudah terlanjur menangis itu terheran sembari menukikkan kedua alisnya. Air matanya segera berhenti.
Almarhum BN segera dipindahkan dari kereta Kargo ke mobil ambulans dan disambut dalam doa yang dipimpin oleh Suster Laurentina PI. Setelah didoakan, pintu ambulans segera ditutup. Jenazah disemayamkan selama dua malam di RSUD W. Z. Yohannes Kupang dan akan diterbangkan ke Maumere pada Rabu (27/03/2019).
Setelah mobil ambulans berlalu, aku kembali pulang, sementara Suster Laurentina PI dan Suster Matilda PI masih ke kantor BP3TKI Kupang untuk mengurus kepulangan korban human trafficking yang sudah bekerja selama 14 tahun di Malaysia.
Aku segera berkenalan dengannya wanita yang akrab disapa YM ketika suster membawanya serta. Tidak perlu waktu lama untuk membuatku dekat dengan wanita 33 tahun ini. Aku segera mengajaknya untuk melihat kamar mandi dan bak penampungan air agar ia segera mengetahui kondisi lingkungan sekitar. Sebelum mandi, tentu YM harus mengambil air di bak penampungan dan mengangkatnya ke kamar mandi. Maklum saja, ketersediaan air cukup terbatas sehingga tidak ada akses air mengalir ke kamar mandi. Jadi, dibutuhkan tenaga yang ekstra.
Sambil menikmati sore, YM menceritakan pengalamannya selama bekerja di Malaysia sebagai asisten rumah tangga. Aku sedikit kewalahan menangkap maksudnya karena ia menggunakan bahasa Melayu Malaysia. YM mengisahkan pengalaman rekan kerjanya yang mengalami kelumpuhan pada kaki dan tangannya karena perlakukan kasar majikannya. Bagi majikannya, hal itu wajar dilakukan sebagai upaya jera terhadap pencuri. YM juga menceritakan keadaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di sana, sebagian besar PMI tidur berjejer di lantai karena tidak tersedia sebagai tempat penginapan.
Pada malam hari, tepat pukul 19.00 WITA, aku dan Suster Laurentina PI berangkat ke RSUD W.Z. Yohanes Kupang, NTT untuk berdoa bersama. Kami dengan beberapa anggota pelayan Kargo yang lainnya turut mendoakan keselamatan jenazah BN yang dipimpin oleh Frater Robin.
“BN, beristirahatlah dengan tenang. Doa kami mengiringi kepulanganmu,” gumamku singkat sambil mengenderai motor menuju tempat yang kusebut rumah.
***