Nasib Buruh Migran di Masa Pandemi
Acara Seri Diskusi Pandemi dan Pekerja Migran tentang "Akses terhadap Vaksin di Tengah Hoaks dan Krisis Ketenagakerjaan" oleh Migrant Care berlangsung komunikatif pada Minggu (29/8/2021) pada pukul 13.00 WIB hingga 15.30 WIB melalui Zoom. Diskusi dalam ruang virtual ini menggunakan jasa Juru Bahasa Isyarat sehingga dapat diikuti oleh Tuli Indonesia.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menilai penting untuk mendisuksikan kondisi Pekerja Migran Indonesia (PMI) selama pandemi, khususnya terkait pelayanan vaksin yang beberapa waktu lalu digalakkan pemerintah untuk diberikan kepada masyarakat guna menangkal penyebaran Covid-19. Melalui diskusi ini, Wahyu mengajak peserta diskusi untuk berbagi informasi mengenai akses vaksin dan kondisi terkini PMI di tengah situasi pandemi.
Menanggapi hal itu, perwakilan dari Indonesian Family Netwrok (IFN) Singapura, Sammi mengatakan bahwa proses pemberian vaksin di Singapura merupakan hal yang wajib karena dijadikan persyaratan perjalanan dan persyaratan untuk bekerja.
Pada kesempatan ini, Sammi mengapresiasi proses pemberian vaksin bagi PMI di Singapura yang dinilai sangat efektif. Sarana prasarana terkait pelayanan vaksinasi yang diberikan pemerintah Singapura dinilai sangat memuaskan. Sebagian besar PMI di Singapura sudah mendapatkan vaksin secara gratis.
"Tidak ada masalah dengan vaksinansi di Singapura. Vaksin yang tersedia di Singapura Pfizer dan Moderna. Sebagian besar PMI sudah mendapat vaksi dengan pelayanan yang sangat bagus," ujarnya.
Meskipun tidak mengalami kendala dalam hal vaksinasi, namun pandemi memberikan tekanan tersendiri bagi PMI di Singapura. Selama pandemi, sebagian besar masyarakat Singapura bekerja dari rumah (Work From Home). Hal ini memberikan dampak bagi waktu dan beban PMI yang semakin bertambah. Keberadaan majikan di dalam rumah menambah beban pekerjaan bagi PMI.
"Waktu untuk memasak dua atau tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi. Demikian juga dengan pekerjaan membersihkan rumah dan pekerjaan rumah tangga lainnya yang semakin bertambah tetapi upah kerja tidak bertambah," imbuhnya.
Sebagian besar PMI dinyatakan kehilangan waktu istirahat pada akhir pekan dan waktu libur tahunan. Mereka juga kehilangan kebebasan untuk menghirup udara di luar ruangan karena mendapat larangan keras dari majikannya. Sementara itu, majikan bebas keluar masuk rumah dan berekreasi di luar. Diskriminasi ini menjadi beban tersendiri bagi PMI.
Kesulitan lain juga dialami PMI yang mendapat kesempatan untuk kembali ke tanah air namun ingin kembali bekerja di Singapura pada masa pandemi. Segala peraturan wajib vaksin, karantina dan berbagai ketentuan yang diberlakukan di negara Singapura memerlukan biaya yang fantastis. Hal itu sangat memberatkan PMI.
"Biaya penempatan mencapai 4.000 Dolar Singapura atau setara 42.640.400 rupiah. Biaya karantina 14 hari ditambah menjadi 21 hari sehingga PMI harus dikarantina dengan durasi yang lebih lama," ujarnya.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh calo ilegal yang melakukan pekrerutan secara ilegal. Calon PMI diberikan iming-iming biaya murah untuk bekerja di luar negeri dengan upah yang fantastis. Mereka yang tergiur, pada akhirnya terjerat dalam rantai perdagangan manusia (human trafficking). Para calo ini tidak mengajarkan bahasa Inggris dan tidak memberikan pelatihan kepada calon pekerja. Akibatnya, PMI nonprosedural yang sebenarnya tidak siap untuk bekerja tersebut mengalami eksploitasi dari majikan dan juga calonya.
"Pada akhirnya, para pekerja mengalami stres, depresi dan hidup dalam tekanan," ujarnya.
Senada Emy, Suster Laurentina, SDP mengatakan bahwa eksploitasi yang dialami oleh PMI masih kerap terjadi di negara penempatan khususnya oleh PMI nonprosedural yang memakai jasa calo ilegal. Mereka mengalami berbagai kekerasan fisik, mental bahkan hingga kehilangan nyawa dan dipulangkan ke tanah air dalam bentuk jenazah.
Menanggapi berbagai macam ketidakadilan tersebut, Suster Laurentina, SDP bersama dengan jejaringan kemanusiaan lainnya terus memberikan pelayanan kepada para PMI nonprosedural baik dalam keadaan masih bernafas maupun dalam bentuk jenazah. Sebagian besar pelayanan berupa penyambutan jenazah dan pendampingan PMI nonprosedural yang dipulangkan dari negara penempatan Malaysia dan beberapa negara lainnya seperti Taiwan dan Singapura.
"Meskipun Covid-19 menyebabkan pemerintah mengeluarkan PPKM, namun pelayanan yang kami berikan tetap berjalan dan tidak mengenal Lock down," ujarnya.
Kondisi pandemi menurut Suster Laurentina, SDP semakin mempersulit proses pemulangan korban. Ada banyak berkas dan dokumen yang wajib diisi sebagai persyaratan pemulangan. Hal itu juga berpengaruh terhadap biaya pemulangan jenazah yang semakin meningkat.
"Biaya yang semakin meningkat ini menyulitkan keluarga korban yang juga sangat terpuruk ekonominya," ujarnya.
Suster Laurentina, SDP mengisahkan salah satu kasus yang dialami oleh PMI asal Sulamu yang meninggal karena positif Covid-19. Jenazah tidak dapat dipulangkan ke tanah air dan terpaksa dimakamkan di Malaysia.
Keluarga wajib mengisi lembar persetujuan yang menyatakan jenazah PMI disetujui untuk dimakamkan di negara penempatan. Jejaring kemanusiaan di Malaysia membantu proses pemakaman dan mendokumentasikan dalam bentuk foto dan video untuk diberikan kepada keluarga di tanah air.
Bagi jenazah PMI yang bisa dipulangkan ke tanah air harus terlebih dahulu transit ke Jakarta. Saat jenazah tiba di Jakata, segel jenazah dibuka dan kemudian jenazah dikirim dari Jakarta ke Kupang. Sementara, ketika jenazah tiba di Kupang, jenazah harus dikirimkan kembali ke daerah asal di pulau yang berbeda.
"Provinsi NTT merupakan provinsi yang terdiri dari banyak pulau. Jadi, jika daerah asal jenazah PMI berada di pulau yang berbeda, maka harus disesuaikan dengan kondisi cuaca dan iklim. Jika sedang musim angin keras, maka kapal yang mengangkut jenazah tidak bisa bersandar di pelabuhan sehingga proses pemulangan jenazah akan tertunda hingga kondisi memungkinkan," ujarnya.
Selain itu, Suster Laurentina, SDP menambahkan jika biaya pemulangan jenazah selama pandemi lebih mahal daripada biasanya.
"Sekarang biaya pemulangan jenazah lebih mahal. Bahkan lebih mahal biaya jenazah dari Jakarta ke Kupang daripada dari Malaysia ke Kupang," keluhnya.
Jika PMI ilegal dipulangkan dalam keadaan sehat, maka akan diadakan pendampingan. PMI akan dijemput di bandara dan didampingi pemulangannya hingga ke kampung halaman bertemu dengan keluraga. Sebagian besar PMI nonprosedural yang ditangani Suster Laurentina, SDP tidak membawa uang hasil bekerja di negara asal. Sementara, keluarga yang menyambut kepulangan mereka juga dalam keadaan yang sangat memprihatinkan secara ekonomi.
"Kadang, ada juga yang pulang membawa anak yang tidak dikehendaki karena berhubungan dengan pekerja migran yang non prosedural juga. Hal ini menambah beban bagi PMI yang bersangkutan dan juga keluarga. Kami tidak dapat berbuat banyak," ujarnya.
Kasus lain yang berhasil ditangani oleh Suster Laurentina, SDP bersama dengan teman-teman jaringannya adalah menggagalkan 4 orang anak yang akan dikirim untuk bekerja ke Malaysia. Pelayanan dapat dilakukan dengan efektif berkat kerjasama dalam jejaring kemanusiaan khususnya di masa pandemi ini.
Berkaitan dengan pelayanan vaksinasi pada masa pandemi, sesuai dengan topik diskusi, narasumber terakhir adalah dr. Ariel Pradipta, Ph.D perwakilan dari Akar Ilmiah. Dalam sesi ini, ditegaskan betapa pentingnya vaksin untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, perlu diberikan penyadaran kepada kelompok rentan, khususnya PMI bahwa vaksin sangat membantu dalam menjegah penyebaran Covid-19. Berkaitan dengan berbagai macam informasi hoaks yang tersebar dengan tujuan untuk menyebar ketidakjelasan informasi terkait vaksin dibantah oleh dr. Ariel Pradipta, Ph.D dengan memberikan beberapa argumen pendukung yang dapat diterima oleh masyarakat.
"Vaksinasi sangat penting untuk membantu kita dalam meningkatkan daya tahan tubuh menyerang virus Covid-19. Jadi, kalau ada informasi mengenai dampak vaksin yang akan menyebabkan kematian adalah hoaks. Fungsi vaksin adalah membantu kekebalan tubuh melawan Covid-19 bukan untuk menghilangkan nyawa yang menerima vaksin tersebut," pungkasnya.