Acara Puncak TOT Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Media Digital

Acara Puncak TOT Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Media Digital
Peserta Pelatihan TOT Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Media Digital pada Sabtu (21/8/2021)

Acara pucak "TOT (Training Of Trainer) Daring Dalam Rangka Pencegahan Perdagangan Orang (Human Trafficking) Melalui Media Digital" sukses digelar pada Sabtu (21/8/2021) pukul 10.00 hingga 13.00 WIB.

TOT yang sudah berlangsung tiga kali, sejak Sabtu (7/8/2021) merupakan upaya Talitakum Jaringan Jakarta bekerjasama dengan Sahabat Insan, Mitra ImaDei, ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children for Sexual Purpose) Indonesia dan IOM (International Organization for Migration) Indonesia pada taraf preventif yakni pencegahan perdagangan orang, khususnya di lingkungan pendidikan.

Oleh karena itu, edukasi dan pelatih diberikan kepada peserta pelatihan yang merupakan perwakilan tenaga pendidik dari SMA, SMK dan SMP se-Jabotabek dan beberapa kota lainnya. Pelatihan ini juga melibatkan beberapa kongregasi suster dari OSU (Ordo Santa Ursula), CIJ (Congregation Imitationis Jesu), PMY (Cinta Kasih Putri-Putri Maria dan Yosef ) dan perwakilan tenaga pendidik dari Universitas Merdeka Malang.

Materi pada acara puncak ini dibawakan oleh Eny Rofiatul, N yang merupakan perwakilan dari IOM Indonesia. Di awal materi, Eny memberikan sosialisasi TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) berdasarkan UU No 21 Tahun 2007. Sebuah TPPO dapat dilihat dari proses, cara dan tujuan. Prosesnya meliputi tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan. Caranya dapat melalui paksaan, tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan. Tujuannya untuk eksploitasi.

Berdasarkan data terbaru IOM, situasi pandemi di Indonesia sejak awal Maret tahun 2020 lalu berpengaruh pada peningkatan kasus TPPO. Pemutusan hubungan kerja dan perubahan kegiatan luring menjadi daring pada seluruh sektor semakin memperlebar ruang gerak pelaku menjalankan aksinya.

“Ada kurang lebih 150 ribu PMI yang terpaksa dipulangkan ke Indonesia sejak pandemi. Mereka kehilangan pekerjaan karena pemberlakuan pembatasan oleh pemerintah. Sementara biaya hidup terus berjalan. Kelompok ini menjadi sangat rentan menjadi target TPPO,” ujar Eny.

Menurut Eny, ada banyak modus perdagangan orang, dimulai dari penculikan, jeratan hutang jasa dan balas budi, adopsi anak, beasiswa, pengantin pesanan dan bujuk rayu PRT (Pembantu Rumah Tangga). Pada umunnya korban yang sudah masuk dalam lingkaran ini, tidak mampu atau sulit keluar. Mereka terperdaya dan terjebak dalam tekanan pelaku.

Modus tersebut juga terjadi di lingkungan pendidikan yang mengincar usia anak dan remaja. Beberapa diantaranya seperti modus kakak kelas menjual adik kelas, menggunakan orang dekat/sahabat/ teman sebaya dalam merekrut korban, penipuan lewat audisi artis, penipuan melalui program magang ke luar negeri dan perekrutan dengan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Chatting online. 

Pada umumnya, korban perdagangan orang mengalami berbagai tindakan eksploitasi seperti mendapat perlakuan tidak manusiawi (mendapat kekerasan fisik dan psikis), terjerat utang untuk biaya dokumen, kontrak tidak sesuai perjanjian, tidak memiliki waktu istirahat, libur dan harus bekerja lebih dari jam kerja yang telah ditentukan, upah rendah, dokumen dipalsukan, kehilangan akses kesehatan dan hiburan.

Guna mencegah hal itu, perlu dilakukan upaya pecegahan sedini mungkin baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Para peserta seminar yang merupakan tenaga pendidik diberikan bekal untuk mampu mengidentifikasi TPPO dari lingkungan pendidikan dan masyarakat.

Ada beberapa upaya identifikasi yang dapat dilakukan yakni dimulai dari identifikasi usia (apakah korban masuk dalam kategori anak, remaja atau dewasa), kewarganegaraan korban (apakah korban WNI atau WNA), dokumen yang dimiliki (asli atau palsu), lokasi terakhir, tanda-tanda penyiksaan fisik dan tanda trauma dan sektor pekerjaan. Setelah identifikasi dilakukan, peserta pelatihan diharapkan mampu melakukan peka dan mau terlibat aktif dalam melakukan upaya pertolongan. Peserta dapat mendampingi korban untuk melapor pada pihak berwajib (pihak kepolisian) atau menghubungi komunitas atau lembaga yang bisa dipercaya yang dapat membantu penanganan kasus TPPO tersebut.

Selama ini, IOM terbuka sebagai lembaga rujukan dalam membantu menangani permasalahan perdagangan orang namun kasus tersebut harus berasal dari korban, keluarga korban atau pihak lain yang menangani kasus tersebut. IOM tidak diperkenankan oleh pemerintah Indonesia untuk terlibat secara aktif menangani kasus pada tingkat akar rumput. Pada titik ini, peran jejaring dari seluruh organisasi dan lembaga kemasyarakatan serta pemerintah, khususnya lembaga pendidikan diperlukan. Kolaborasi dibutuhkan guna memperkuat penanganan mewujudkan zero human trafficking.

Untuk lebih mempermudah peserta dalam memahami materi, pada pertengah sesi diadakan game dari aplikasi Kahoot. Peserta sangat antusias menjawab 11 pertanyaan yang merupakan inti sari dari materi yang disampaikan.

Sesi ditutup dengan memberikan sosialisasi tentang hak-hak korban perdagangan orang yakni hak untuk mendapatkan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, layanan umum, pemulangan dan integrasi sosial. Himbauan untuk berjejaring demi menghentikan perdagangan orang melalui pelayanan yang tulus untuk kepentingan korban juga ditekankan. Jejaring tingkat lokal, nasional bahkan internasional yang terjalin dengan baik akan memampukan upaya penghapusan bisnis perdagangan orang yang sudah bermetamorfosis ke dalam dunia digital.

“Tujuan pendampingan adalah untuk korban bukan utuk lembaga atau kepentingan individu maka dalam usaha pendampingan terhadap korban hindari tindakan menghakimi, menyakiti, memojokkan korban. Mari berjejaring dengan bijak dan mengedepankan empati kepada korban dengan menjaga kerahasiaan dan keselamatan korban,” tegas Eny.   

Senada dengan Eny, Romo Ignatius Ismartono, SJ mengajak para peserta pelatihan untuk berjejaring memberantas perdagangan manusia sebagai upaya bersama membangun bangsa. Menurutnya, membangun kerjasama di bidang kemanusiaan sama halnya dengan membangun jiwa melalui kementerian pendidikan dan membangun raga melalui kementerian olahraga.

“IOM memang tidak bisa menjangkau korban secara langsung, namun ada para suster dan jaringan kemanusiaan serupa yang selalu ada di lapangan. Ini gunanya jaringan” ujarnya.

Romo Ignatius Ismartono juga mengapresiasi para pemateri dan para pendidik yang sudah meluangkan waktu untuk mengikuti rangkaian pelatihan selama tiga kali. Hal ini dinilai sebagai upaya dan cara yang tepat mengatasi persoalan yang semakin rumit demi rasa cinta pada peserta didik yang merupakan bagian dari masa depan.

“Bangun jiwa, bangun badan. Terlepas dari semua kesulitan yang ada, semoga cita-cita untuk memperjuangkan kemanusiaan dapat membahagiakan anda sendiri. Bekerjasama dalam jaringan bertujuan untuk semakin dikenal dalam upaya menolong, bukan untuk populer. Selamat berjuang dan bekerja,” tegasnya.

Acara ditutup oleh Suster Irena, OSU melalui apresiasi kepada para peserta pelatihan yang bersedia berproses dan belajar bersama selama tiga kali pertemuan setiap akhir pekan. Peserta pelatihan diberikan tugas untuk melakukan sosialisasi pencegahan perdagangan orang di lingkungan sekolah mereka hingga akhir tahun 2021 bekerjasama dengan seluruh jaringan yang ada.  

“Terima kasih bapak ibu, karena cinta kalian yang mempertemukan kita bersama di tempat ini. Pengorbanan anda karena dasar mencintai. Semoga upaya ini dapat menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk mewujudkan zero human trafficking di seluruh dunia sesuai pesan bapak Paus,” pungkasnya.