Relawati Anti Human Trafficking

Jeny Getrida Laamo merupakan relawan kemanusiaan Sahabat Insan yang membantu Suster Laurentina PI di Unit Anti Human Trafficking Yayasan Sosial Penyelenggaraan Ilahi (YSPI) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dara berusia 21 tahun ini lahir di Sabu, NTT dari seorang ayah yang berasal dari Alor dan Ibu yang berasal dari Sabu. Lahir dan besar di Sabu membangkitkan jiwa petualangnya menjelajah berbagai tempat di NTT dan mencoba berbagai hal baru yang menantang.
Wanita yang akrab disapa Jeny ini terdorong aktif dalam berbagai gerakan sosial saat menempuh pendidikan di Akademi Pekerja Sosial Kupang, NTT. Setelah lulus pada tahun 2018, ia memutuskan untuk mengabdikan diri menajamkan misi kemanusiaannya membantu di Unit Anti human trafficking sejak Januari 2019 lalu.
Gadis manis berambut ikal ini tertarik untuk menangani berbagai permasalahan kemanusiaan yang tidak kunjung usai di provinsinya. Ia ingin belajar lebih banyak tentang kasus perdagangan orang alias human trafficking yang menimpa sanak saudara, kerabat dan bahkan orang-orang terdekatnya.
Suara hatinya mulai tergugah ketika ia mengerjakan praktikum ke-3 dengan mendalami isu human trafficking di kampusnya. Saat itu, ia harus terjun secara langsung ke lapangan dalam mendampingi satu korban human trafficking selama 3 bulan. Pengalaman itu mendorongnya untuk lebih intens mendalami isu human trafficking.
Selama menjemput jenazah, ia juga merasakan kedukaan yang mendalam, sama seperti yang dirasakan keluarga korban. Emosinya dan tenaganya terkuras saat menjemput jenazah maupun mengantar korban human trafficking hingga ke tempat asal. Sulit baginya untuk menahan air mata yang sontak mengalir dari pelupuk mata. Apalagi jika membayangkan jenazah kaku yang di wrapping di dalam peti jenazah telah berjuang di negeri rantau demi anak, isteri, suami atau bahkan orang-orang terdekatnya yang menanti di kampung halaman dalam kurun waktu yang sangat lama, bisa 5, 10, 15 atau bahkan puluhan tahun.
Apabila korban human trafficking bisa kembali ke tanah asal, maka ia akan mendengarkan pengakuan yang miris dan menyayat hati dari si korban. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi dan dieksploitasi secara habis-habisan baik secara fisik maupun psikis. Tidak ada pilihan lain selain bertahan demi menyambung nyawa sekalipun tidak memperoleh hak sebagai pekerja, termasuk upah yang dijanjikan. Komunikasi yang terputus, kerap menjadikan para pekerja ini tiada dalam benak keluarga di kampung. Bahkan mereka sudah dianggap meninggal di perantauan dan diikhlaskan kepergiannya tanpa bisa melakukan apapun. Suara-suara terbungkam kerap menjadi saksi bisu pengalaman batinnya dalam menjalankan karya ini.
Kendati demikian, haru bahagia tetap membaur menjadi satu ketika ia berhasil mempertemukan korban dengan keluarganya. Bahkan pemandangan di Kargo kerap mengajarkannya arti kemanusiaan yang hakiki. Ada banyak yang tergerak menuju Kargo ataupun ke ruang pemberhentian sementara di RS Yohanes Kupang untuk mendoakan jenazah sebagai ungkapan tali persaudaraan sekalipun tidak terlalu mengenali jenazah. Ada yang hanya karena satu kampung atau karena mendapatkan kabar angin dari saudara jauh tanpa mengenal jenazah. Fenomena ini baginya ibarat dua mata logam, di satu sisi tali persaudaraan terasa begitu kuat, namun disisi lain sangat renggang, bahkan hingga tega mengorbankan saudaranya, menjualnya atau bahkan membunuhnya demi keuntungan pribadi.
Dalam beberapa kesempatan mengantarkan jenazah PMI ataupun korban hingga ke daerah asal, membuat rasa cintanya pada Tanah Timor semakin membuncah. Ia bahagia bisa mengambil bagian dalam memperjuangkan sesamanya. Melalui karya sederhana ini, ia optimis mampu berbuat lebih banyak untuk NTT, provinsi yang dicintainya, tanah kelahirannya. Hal ini sebagai bentuk dedikasinya sebagai generasi penerus bangsa yang peduli dan ingin menangani permasalahan dari akar rumputnya.
Dalam Gudang Tulisan ini, Jeny akan membagikan beberapa kisah perjuangannya dalam membantu misi kemanusiaan memberantas human trafficking.
***