Suara dari Jalanan Tegakkan Keadilan

6 Mei 2019
Aksi kemanusiaan untuk menuntut keadilan bagi PMI Adelina Sao yang meninggal di Malaysia akibat kekejian majikannya Ambika Shan kembali digelar di Kupang pada Senin (06/04/2019). Bagaimana tidak, hasil vonis dari Pengadilan Malaysia sangat mengecewakan. Ambika Shan yang sempat digugat dengan pasal 302 Hukum Pidana Malaysia dengan ancaman hukuman mati dibebaskan secara sepihak oleh Pengadilan Tinggi Malaysia dengan alasan tidak ada satupun saksi kunci yang bisa memberikan keterangan.
Hanya lewat udangan di grup Whatsapp Forum Kemanusiaan NTT, mampu menggerakkan banyak orang untuk ambil bagian dalam aksi yang dijadwalkan pukul 09.00 WITA. Satu per satu aktivis kemanusiaan mulai memenuhi lokasi aksi dengan mengenakan selendang asal daerah mereka masing-masing. Ada berbagai motif yang menarik, mulai dari Alor, Larantuka dan Bajawa dan lain-lain. Berbagai motif selendang itu juga dimodifikasi membentuk rok, terusan atau sekedar dililitkan. Aku sudah mengenakan selendang Sabu yang kuikatkan di kepala membentuk bando.
![]() |
Suster Laurentina PI berada di barisan terdepan menentang kasus human trafficking bersama pegiat kemanusiaan yang lainnya
Tidak hanya para aktivis yang akan beraksi untuk meminta keadilan terhadap kasus Adelina Sau yang hasil vonisnya sangat mengecewakan, namun keluarga Adelina Sau juga turun ke jalan bergabung bersama kami. Mereka menuntut hak anaknya yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan.
Kegiatan aksi dimulai dengan perarakan dari gereja St. Yoseph Naikoten ke Polda NTT. Perarakan ini didahului dengan mobil pick up hitam yang memuat beberapa speaker dan replika Mohathir Mohamad. Orang-orangan berjas rapi itu memeluk peti bertuliskan RIP. Suara musik sudah terdengar dari ujung jalan dan menunjukkan eksistensi-nya sekaligus menenangkan para aktivis yang mulai risau, bertanya-tanya kapan aksi ini akan dilakukan. Tentu saja aku senang saat melihat Kakak Ardi datang bersama teman-teman aktivis kemanusiaan yang lainnya. Mereka rela turun ke jalan demi sebuah keadilan. Kakak Ardi mengatakan bahwa agenda yang akan di lakukan hari ini adalah aksi di depan Polda NTT dan beraudiensi dengan mereka, melanjutkan perjalanan ke kantor Gubernut NTT sambil bernyanyi, berorasi atau membaca puisi, beraudiensi dengan pemerintah NTT dan acara simbolis sebagai protes terhadap pemerintah Malaysia.
Saat perarakan dimulai, suster Laurentina PI, Mama Pendeta Emmy, dan Yohana Banunaek-ibunda Adelina Sau beserta keluarganya berdiri di barisan paling depan dengan genggaman erat pada papan tuntutan. Bersama dengan aktivis lainnya, perarakan diringi oleh lagu Kebenaran Akan Terus Hidup yang dinyanyikan oleh Putra Wiji Thukul. Lagu yang pertama kali kudengar di pengalaman perdana ini sangat menyentuh hati. Apalagi orasi puisi diucapkan dengan sepenuh hati. Dengan seksama kusimak diksi yang sangat epik untuk menyentil pemerintah NTT.
![]() |
Peserta aksi membawa spanduk hingga ke depan Polda NTT
Beberapa pejalan yang melintas memperhatikan kami. Apalagi para siswa-siwsi SMPK St. Yoseph yang melihat aksi kami. Mereka keluar dari area sekolah dan berdiri di trotoar. Ada juga yang berusaha mengintip dari balik tembok.
Orasi dibuka oleh kakak Adelia dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) kemudian dilanjutkan oleh kakak Ardi dari Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC). Ia berteriak dengan lantang. Selendang merah dililitkan melingkari kepalanya cukup menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Di bawah langit biru, aku bersama pegiat kemanusiaan yang lainnya dengan semangat 45 melangkahkan kaki ke Polda NTT. Orasi-orasi berkelanjutan dikumandangkan oleh aliansi mahasiswa yang terkabung dalam aksi protes terhadap pihak kepolisian. Pria maupun wanita menyuarakan isi hatinya yang tergores, berduka dan gundah.
Dari seluruh orasi yang diumandangkan, aku lebih menyukai orasi Ketua IRGSC, Elcid Li yang padat, jelas dan bernas.
“Tidak peduli 01 atau 02, warga Negara harus di bela haknya! Aparat keamanan yang diam adalah penjahat. Konon, saudara-saudara, hanya ada dua orang polisi yang dikenal jujur, pertama adalah Jenderal Hoegeng, yang kedua adalah polisi tidur,” teriaknya keras. Perutku tergelitik mendengarnya. Aku mencoba menangkap maksudnya. Ia ingin agar perwakilan dari aliansi segera dipertemukan dengan Kapolda dan Wakapolda. Namun sayang, tidak ada respon apapun.
![]() |
Ketua IRGSC, Elcid Li berorasi tuntut keadilan atas PMI
Peserta aksi pada akhirnya serempak berdiri paling depan dan menggoyang gerbang Polda NTT agar terbuka. Risau akan berujung bentrok, mama Pendeta Emmy dipersilahkan masuk oleh salah satu polisi. Namun suster Laurentina PI sama sekali tidak diperbolehkan ikut serta. Namun setelah para peserta aksi menggoyang gerbang untuk kedua kalinya, polisi akhirnya mengizinkan suster Laurentina PI dan ibunda Adelina, Yohana Banunaek untuk mendampingi mama pendeta Emmy beraudiensi dengan pihak kepolisian.
Kurang lebih tiga puluh menit kami menanti di luar di bawah terik matahari yang membakar, menusuk hingga ke pori-pori kulit. Informasi yang didapat dari suster Laurentina PI melalui grup membuat kami melanjutkan perjalanan ke Kantor Gubernur NTT. Beberapa orang yang memiliki kendaraan memilih untuk menunggu proses audiensi selesai.
Aku dan peserta aksi dipandu pemimpin orasi untuk merapikan barisan. Replika ditempatkan paling depan, disusul dengan pick up, barisan kelompok yang memegang bendera dan diikuti dengan barisan yang memegang papan tuntutan. Perarakan kami dikawal oleh polisi dan polwan agar tidak mengganggu lalu lintas. Aku sedikit terharu karena sekalipun mereka mendapat cacian oleh beberapa peserta aksi, namun tetap dengan sigap mengawal kami hingga ke Kantor Gubernur NTT yang berbentuk Sasando.
![]() |
Suster Laurentina PI membacakan puisi di depan kantor Gubernur NTT
Sesampainya di sana, suster Laurentina PI membacakan puisi dengan judul “Suara Kebisuan”. Puisi tersebut menggambarkan suasana mereka yang tak bisa lagi menyuarakan kesakitan yang dirasakan. Mama pendeta Emmy juga turut membacakan surat tuntutan, sementara ibunda Adelina Sau menyampaikan isi hatinya yang terdalam dengan menggunakan bahasa khas Timor yang diterjemahkan oleh saudara laki-lakinya, Ambrosius Ku. Ia maju dengan berurai air mata. Air matanya tidak akan pernah habis untuk anaknya yang telah tiada.
“Kesedihan kami tak pernah berakhir, saya terus menyesal dan juga marah, karena Adelina meninggal bukan karena sakit tapi disiksa oleh majikannya,” rintihnya.
Ia berharap agar pemerintah Indonesia sungguh memperhatikan nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan melindungi hak-haknya sebagai warga negara agar kejadian yang dialami Adelina Sao tidak terulang.
Aksi dilanjutkan dengan membuang rampai pada replika Mohathir Mohamad, kemudian membakar replika tersebut sembari mendengarkan puisi yang menyayat hati oleh seorang perempuan Timor berselendang ungu.
Tidak lama kemudian, Wakil gubernur, Bapak Yosef Nae Soi bersama dengan rombongannya yang dikelilingi oleh polisi muncul di hadapan perserta aksi. Hanya ada lima orang yang diizinkan untuk beraudiensi bersama beliau. Mama pendeta Emmy didampingi suster Laurentina PI dan ibu Adelina Sao berdiri paling depan untuk mewakili suara kami. Handphone-handphone di angkat tinggi agar bisa menangkap wajah Wakil Gubernur yang mengkilat di terpa mentari.
![]() |
Wakil Gubernur NTT, Josef Nai Soi beraudiensi dengan peserta aksi di depan Kantor Gubernur NTT
Mama pendeta Emmy menyampaikan setiap hal yang memang perlu disampaikan terkait kasus Adelina Sau dan setiap jenazah-jenazah yang tiba di NTT. Menurutnya, aksi di depan kantor gubernur ini akan sia-sia belaka jika tidak ada pertemuan antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia dengan menggunakan hukum internasional human trafficking. Namun Elcid Li selaku ketua IRGSC menuntut tuntas kasus pemalsuan dokumen yang masih marak terjadi dan meminta pemerintah melakukan pemetaan penduduk di desa-desa guna memutus rantai human trafficking. Ia juga menuntut janji Gubernur NTT, Viktor Laiskodat yang saat kampanye berseru untuk mematahkan kaki pelaku-pelaku perdagangan orang.
Mama Pendeta Emmy menyuarakan suara orang yang tertindas dengan lantang di depan seluruh peserta aksi sebagai kalimat penutup aksi.
“Sekecil apapun suara kami disuarakan, pasti Tuhan akan membesarkannya. Lelah kami tak sia-sia, pemangku kuasa mau turun dari singgasananya dan menemui kami yang sudah kering karena terbakar matahari serta mau mendengarkan suara kami merupakan pencapaian yang luar biasa,” pungkasnya.
Semoga saja berdampak positif bagi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah NTT. Dari aksi hari ini, ada perasaan memuaskan yang memenuhi hatiku. Ternyata seperti ini rasanya saat memperjuangkan sesuatu, memperjuangkan hal yang memang pantas untuk di perjuangkan. Perasaan bahagia dan lega sekaligus haru. Semuanya hanya bisa dirasakan dan dinikmati. Lelah yang kurasakan ini mungkin hanya 0,1 persen dari lelah para PMI di luar sana. Berjuang melawan maut demi sesuap nasi bagi keluarga di kampung halaman.
***